Toleransi di Dunia Nyata dan Maya

Suatu ketika di sebuah taman bermain, saya melihat seorang ibu memarahi anaknya. Si anak diajak pulang tapi belum mau. Akhirnya keluarlah nada marah dalam perkataannya plus cubitan yang mendarat pada paha si anak.


toleransi di dunia nyata dan maya


Saya sebenarnya enggak setuju dengan cara si ibu, tapi saya enggak mau turut campur. Mungkin memang seperti itulah pilihan cara mendidik yang ia terapkan.

Di lain waktu, saya membaca sebuah tweet berisi foto makanan yang menggoda plus kalimat yang kurang lebih begini isinya: "Siapa bilang di bulan Ramadhan enggak boleh pamer makanan? Situ aja kali yang mikirnya makanan mulu 😅😂".

Sebenarnya saya enggak keberatan dengan poin yang ingin disampaikan, tapi saya kurang setuju dengan bahasa yang digunakan. Menurut saya, kok, terlihat mengejek sekali. Tapi saya enggak menanggapi cuitan tersebut. Ya, mungkin seperti itulah gaya bahasa dia.


Memahami Toleransi

Sudah sejak di bangku Sekolah Dasar saya menerima pelajaran soal toleransi. Seingat saya, toleransi yang diajarkan di sekolah lebih ditekankan pada sikap antar pemeluk agama. Bagaimana kita harus saling menghormati dengan pemeluk agama lain yang berbeda dari kita. Bagaimana kita mesti bersikap jika umat agama lain sedang melaksanakan ibadahnya, merayakan hari rayanya, dan lain-lain.

Dan rujukan tertinggi soal toleransi saya dapatkan pada ayat Al-Qur'an, yaitu firman Allah dalam QS. Al-Kafirun ayat 6, yang artinya:

"Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku."

Dalam ayat tersebut jelas bahwa sebagai muslim kita wajib bertoleransi kepada pemeluk agama lain. Hal-hal yang menyangkut aqidah orang lain, kita enggak boleh memaksakan pendapat ataupun kehendak. Urusan agama orang lain, ya sudah, kita enggak perlu turut campur.

Baca juga: Memelihara Ilmu dan Mengaplikasikannya Agar Bermanfaat.


Sementara itu menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), toleran diartikan sebagai berikut:

"Bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri."

Dari arti yang tertulis dalam KBBI tersebut, bukan dalam persoalan agama saja sikap toleran kita terapkan. Dan, memang seperti itulah makna toleransi yang saya pahami hingga dewasa ini. Dalam kehidupan sehari-hari, toleransi sudah seharusnya kita terapkan agar kenyamanan dan ketentraman dalam bermasyarakat dapat tercapai.

Seperti yang coba saya terapkan dalam secuil cerita di awal tulisan ini. Saya enggak ingin suasana menjadi kacau gara-gara saya menegur si ibu. Saya berusaha menenggang perilaku si ibu demi ketentraman bersama. Toh, kita punya hak masing-masing dalam mendidik anak sendiri, bukan? Kecuali, jika tindakannya melampaui batas, seperti menganiaya anaknya sendiri. Tentu hal itu akan masuk dalam ranah perkara pidana yang harus ada tindakan dari pihak yang berwajib (polisi).

Kemudian dalam kasus yang kedua, sebenarnya jari ini sudah ingin berkomentar begini begitu. Saya enggak keberatan soal pamer foto makanan di media sosial, tapi kurang sreg saja dengan bahasanya. Kesannya, kok, ngece kalau orang Jawa bilang. Terkesan mengolok pendapat orang yang berseberangan. Tapi, ya sudahlah. Itu hak dia. Saya enggak setuju, ya, lewati saja cuitan itu. Tak perlu berkomentar, yang akan membuat suasana kurang baik (adu pendapat atau debat yang memicu emosi, misalnya).

Demikianlah kita hidup di dunia nyata, seringkali ada kejadian-kejadian atau tulisan-tulisan yang enggak sesuai dengan pendapat atau keyakinan kita. Namun dengan sikap toleran yang sewajarnya, kita berusaha menjaga ketentraman kehidupan bermasyarakat.


Toleransi di Dunia Maya

Memang benar dunia maya enggak jauh beda dengan dunia nyata. Artinya hampir semua penduduk dunia maya memang nyata adalah orang-orang yang ada di dunia nyata. Bahkan sebagian sudah kita kenal baik, sudah saling bertemu, bersahabat, bersaudara, dan sebagainya. Makanya ada etika yang harus kita terapkan di dunia maya, seperti di dunia nyata. Berkomunikasi di dunia maya seharusnya juga sama seperti di dunia nyata. Ada adab, etika, sopan santun. 

Namun hampir semua artinya tidak semua. Ya, di dunia maya enggak semua akun di sana adalah nyata merepresentasikan pemiliknya. Ada akun-akun palsu, akun robot, atau akun-akun yang disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak baik. Nah, kita harus waspada dengan akun-akun yang tak bertanggungjawab seperti ini.

Jika ada pendapat atau pemikiran yang berseberangan dengan pemikiran kita, apa yang mesti kita lakukan? Kadang, kita berkomentar secara santun saja masih banyak yang menanggapi dengan penuh kebencian, lho..

Kita memang wajib membela kebenaran. Apalagi sebagai muslim, ada kewajiban amar ma'ruf nahi munkar, yaitu mengajak/memerintahkan kepada kebenaran dan menjauhi kemungkaran (keburukan). Namun di dunia maya ada banyak mata yang melihat tulisan kita termasuk akun-akun palsu yang tidak bertanggungjawab. Jika kita salah tulis sedikit saja akibat tercampur emosi saat menulis, maka akan bisa berakibat fatal.

Dalam hal ini sikap toleransi di dunia maya menurut saya memang harus kita utamakan. Apabila kita tidak mengenal baik orang-orang yang berseberangan pemikiran dengan kita, sebaiknya biarkan saja pendapat mereka. Tak perlu berkomentar. Bisa saja pendapat-pendapat itu hanya ingin memancing pendapat pihak yang kontra.

Berbeda jika kita mengenal baik orang tersebut, kita bisa berdiskusi melalui jalur pribadi. Berdiskusi dengan santun dan tetap menghormati pendapatnya.

Baca juga: Ternyata Saya Bukan Siapa-siapa.


Yah, demikianlah sekelumit opini saya. Mungkin ada yang setuju ada pula yang enggak setuju. Dunia memang penuh kontroversi. Pun tidak ada kebenaran yang absolut, kecuali firman Allah subhanahu wa ta'ala (ini menurut keyakinan saya 😊 ). So, silakan berpendapat!


Diah Kusumastuti
Saya ibu rumah tangga dengan lima orang anak. Blog saya berisi bermacam tulisan terkait family, parenting, pendidikan, traveling, dll. Email: d3kusumastuti@gmail.com

Related Posts

2 komentar

  1. Biasanya kalo ada yang komen suka melanggar pagar itu karena mainnya kurang jauh. Dia gak pernah hidup di tempat di mana dia jadi minoritas atau sebaliknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. begitu ya, Bang. Mungkin jarang baca-baca dan lihat sekitar juga, ya 😁

      Hapus

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter