Rezeki Tak Pernah Salah Tempat

Apakah saya pernah iri akan rezeki orang lain? Sering. Tapi, saya terus belajar dan kemudian menemukan hikmah mengapa rezeki itu layak untuk dia, mereka, atau untuk saya.


rezeki tak pernah salah memilih tempat

Dulu, waktu kecil, saya setengah meyakini bahwa jika kita bersusah payah di waktu kecil, kelak kita akan hidup sukses. Ya, saya berharap sukses saat dewasa, karena waktu kecil sudah hidup susah. Sukses dalam bayangan saya adalah hidup serba berkecukupan secara materi. Dan barangsiapa yang bersantai-santai di masa kecilnya, kelak enggak akan sukses. Saya meyakini peribahasa: "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian."

Seiring perjalanan waktu, saya merasa kehidupan memang menjadi lebih baik. Saya enggak lagi tinggal di rumah berdinding gedhek (Jawa, artinya dinding yang terbuat anyaman bambu) seperti dulu lagi meski masih ngontrak ke sana ke mari, saya bisa kuliah, lalu bisa mencari uang sendiri dengan bekerja, dan sebagainya.

Tapi, seiring waktu pula saya masih merasa kurang beruntung. Saya sering berpikir, kenapa teman-teman kuliah saya jadi lebih sukses daripada saya, padahal secara akademis dulu saya yang lebih baik nilai-nilainya? Lalu mengapa, teman-teman sekolah saya dulu banyak yang lebih sukses sekarang, padahal dulu mereka sekolahnya sering bolos, sering ngerjain pe-er pas pagi-pagi jelang masuk kelas, suka guyon dan santai-santai saja?

Lalu, kenapa sih anak-anak orang-orang itu semuanya nurut-nurut, juga ramah sama orang? Sedangkan anak-anak saya, tiap hari bikin gaduh, bertengkar dengan adik/kakaknya, membuat saya makan ati tiap hari. Kalau ketemu orang malu-malu, bikin orang tuanya malu juga. Aihhh...

Dan sebagainya, dan lain-lain...

Masih banyak perasaan-perasaan negatif yang sering saya rasakan. Mengapa saya enggak seberuntung mereka..

Kemudian saya jadi membenarkan lagunya Jamrud (duh maap jadoel, yah 😅); "bersakit-sakit dahulu, senang pun tak datang... malah mati kemudian...".

Ih, liriknya ngeri amat ini, sih 😅😂

Saya sering merasa iri dengan rezeki orang lain, rezeki materi maupun non materi mereka. Mengapa saya yang sudah "bersakit-sakit" dahulu ternyata enggak senang kemudian?

Baca juga: Mengosongkan Gelas.


Belajar Bersyukur

Namun seiring perjalanan waktu (lagi-lagi), saya juga sekaligus belajar memaknai rezeki. Saya banyak membaca artikel tentang rezeki, mendengarkan kajian-kajian, dan melihat kenyataan di sekitar saya. Kemudian sedikit demi sedikit mata hati saya terbuka soal porsi rezeki.

Awalnya saya hanya tahu bahwa teman yang sukses itu telah sukses segalanya, tapi ternyata dia sukses karirnya tapi belum juga dikaruniai anak yang sangat diinginkannya. Ada yang sukses karir tapi masih juga membujang sampai usianya hampir kepala empat, padahal dia juga pengin nikah. Ada pula yang telah sukses saya kira perjalanannya mudah, tapi ternyata perjuangannya enggak mudah.

Namun ada juga teman yang kaya, punya anak lucu-lucu, selalu memajang status bahagia di WA story-nya.. tampak sempurna. Enggak saya temukan kekurangan pada dirinya. Dia tampak bahagia lahir batin, dia sukses secara materi dan non materi. Kenapa saya enggak bisa seperti dia?

Astaghfirullah.. astaghfirullah.. astaghfirullah..

Betapa picik pemikiran saya waktu itu.

Rasa iri, pembandingan-pembandingan yang enggak sebanding itu membuat pikiran dan hati saya sempit. Namun semua rasa negatif itu perlahan hilang ketika satu per satu fakta kehidupan terkuak. Orang-orang yang saya lihat selalu beruntung, selalu bahagia, ada saatnya pula kadang terjatuh, punya masalah besar, dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tampak selalu tak punya kesedihan? Saya yakin, itu hanya karena saya tak bisa tahu segala sisi kehidupan mereka.

Baca juga: Ternyata Saya Bukan Siapa-siapa.

count your blessings


Saya juga belajar melihat "ke bawah", ketika saya belajar bersyukur. Ternyata, ketidakbersyukuran-ketidakbersyukuran itu enggak ada faedahnya.

Ya, ternyata hanya dengan bersyukur, mensyukuri apa-apa yang telah kita punyai, rasa iri atas rezeki orang lain akan perlahan hilang. Ketika kita meyakini bahwa rezeki itu tak pernah salah tempat, maka hati kita akan lapang. Selalu mengingat firman Allah subhanahu wa ta'ala yang satu ini:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7).
Kadang memang enggak mudah bersyukur, ketika melihat rezeki yang didapat orang lain tampak mudah mendapatkannya. Sedangkan kita yang sudah "berdarah-darah" justru enggak bisa mendapatkan rezeki itu. Tapi, jika kita iri alias tidak bersyukur, yang ada dada menjadi sesak. Itulah hati yang sakit, dan akan semakin sakit jika tak kunjung bisa menerima pemberian-Nya.

Dari berbagai kejadian yang saya alami, saya yakin bahwa porsi rezeki adalah sebanding dengan kapasitas. Karena kapasitas saya "segini" maka saya pantas mendapatkan rezeki "segini" pula. Dan yakin saja, Allah itu Maha Adil. Dia tak mungkin salah tempat dalam memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Porsi rezeki pasti sudah diatur-Nya dengan sempurna. Dan jika kita sudah berserah diri, bersyukur, maka insyaa Allah hati akan menjadi lapang dan tenang. Kebahagiaan pun tercipta.


Diah Kusumastuti
Saya ibu rumah tangga dengan lima orang anak. Blog saya berisi bermacam tulisan terkait family, parenting, pendidikan, traveling, dll. Email: d3kusumastuti@gmail.com

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter